ASHABUL KAHFI
Sebuah Kumpulan dari berbagai Sumber
18.
Al Kahfi |
Muqaddimah |
|
Penutup |
|
Sebuah Hikayat Para Penghuni Gua
Hikayat tentang para penghuni gua (Ashhabul Kahfi),kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah,Tulisan As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad,dalam menunjukkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul Allah s.a.w.
Di kala Umar
Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya
beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai
Khalifah Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya,
Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika
anda dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam
merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya,
jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan
Muhammad bukan seorang Nabi."
"Silahkan
bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit,
apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
"Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama
penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin!
Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di
permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu
atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung
puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam
jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia
sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara?
Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang
dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"
Khalifah Umar
menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar,
jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak
diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang
bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang
kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu
adalah bathil!"
Salman
Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada
pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"
Ia cepat-cepat
pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya
Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"
Imam Ali r.a.
bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul
Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan
lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan
Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari
tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal Hasan,
tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu
jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: "Silakan kalian bertanya tentang
apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam
ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang
ilmu!"
Pendeta-pendeta
Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali
bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian,
yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian
sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama
kami dan beriman!"
"Ya
baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing
pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik
kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia
bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat
Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka
pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat)
bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Para pendeta
Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu
benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami
tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera
Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus as. dibawa keliling
ketujuh samudera!"
Pendeta-pendeta
itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk
yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan
manusia dan bukan jin!"
Ali bin Abi
Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud
alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut,
masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh
Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sedar!"
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami
tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak
satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya
atau induknya!"
Ali bin Abi
Thalib menjawab: "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa.
Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi
Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban
serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin
Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu
yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang
masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."
"Tanyakanlah
apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.
"Coba
terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati
selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat
tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali
Thalib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua.
Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya.
Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."
Pendeta Yahudi
itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika
engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah
mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung
serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"
Ali bin Abi
Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu
ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata:
"Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah
menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota
bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu
pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu
berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja
itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia
bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia
datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil
menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu
dibangunlah sebuah Istana."
Baru sampai di
situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika
engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana
serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin Abi Thalib menerangkan:
"Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat
dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl
8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah,
semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga
semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai
yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak
yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya
sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari
sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan
lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat
dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga
disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan
penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan
mengenakan mahkota di atas kepala."
Sampai di situ
pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau
benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"
"Hai
saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu terbuat
dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan
mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan
malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para
hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana
mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan
gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari
emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka,
raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk
dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu
keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu
itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan
yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang
bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan
itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja
itu!"
Menanggapi hal
itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w.
menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja,
masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang
pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius,
Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala
urusan.
Tiap hari
setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan
para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya
membawa piala emas penuh berisi wewangian murni.
Seorang lagi
membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi
membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan
suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari
bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan
ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si
pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula.
Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di
dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian
murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa
burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di
atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas
kepala raja.
Demikianlah
raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama
itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing
kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang
raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan
dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi
mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu
kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat
dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi
barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia
akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya.
Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia
disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari
perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan
mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu,
bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan
maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan
bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh
dari kepala.
Kemudian raja
itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu
yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha--
memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu
berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana
menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air
kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."
Enam orang pembantu
raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang dari
mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima
kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan
dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya
bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau
minum?"
"Teman-teman,"
sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku
tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."
Teman-temannya
mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"
"Sudah
lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan."
Aku lalu
bertanya pada diriku sendiri: 'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap
yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang
yang menopangnya dari bawah?
Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu?
Siapakah yang
menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan
juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?
Siapakah yang
menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan
tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang
mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara
hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan
sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman
Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil
berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti
yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan
keluar bagi kita semua!"
"Saudara-saudara,"
jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus
lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan
bumi!"
"Kami
setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu
berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil mendapat
uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu
berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah
berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya:
"Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan
kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar."
Mereka turun
dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki
mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba
datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka
bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau
susu?"
"Aku
mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi
kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu
pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan
kalian itu!"
"Ah…,
susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama,
kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?"
"Ya," jawab penggembala itu.
Tamlikha dan
teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar
cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan
sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa
sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di
sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku
akan segera kembali lagi kepada kalian."
Tamlikha
bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."
Waktu cerita
Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi
sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan
apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"
"Hai
saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, "kekasihku
Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna
kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.
Ketika enam
orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada
temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia
kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan
batu.
Anjing itu
melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki
belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali:
"Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini
bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku
menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku
kepada Allah s.w.t." Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu
pergi.
Penggembala
tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah
gua."
Pendeta Yahudi
yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata:
"Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"
Imam Ali
menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid,
atau di sebut juga dengan nama Kheram!"
Ali bin Abi
Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan
berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum
air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung
di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga
ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua.
Kemudian Allah
s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing
orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik
tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada
saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada
saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika
waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang
pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja
Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat
menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas
bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan
diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan
bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para
pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan
kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa
diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka
segera datang ke mari!"
Setelah
tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua
dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja
berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di
dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong
kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat
itu."
Dalam gua
tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa
yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka.
Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan
baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang
lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke
mata air!"
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah
mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya.
Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya:
"Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota
membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota
nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan
lemak-babi."
Tamlikha
kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk
mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan
ambillah bajuku ini!"
Setelah
Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan
ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui
jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia
melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain
Allah dan Isa adalah Roh Allah."
Tamlikha
berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata
seorang diri: "Kusangka aku ini masih tidur!" Setelah agak lama
memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota.
Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang
yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang
penjaja roti: "Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?"
"Aphesus,"
sahut penjual roti itu.
"Siapakah
nama raja kalian?" tanya Tamlikha lagi. "Abdurrahman," jawab
penjual roti.
"Kalau
yang kau katakan itu benar," kata Tamlikha, "urusanku ini sungguh
aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah makanan kepadaku!"
Melihat uang
itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang
zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat.
Pendeta Yahudi
yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, lalu berkata kepada Ali bin Abi
Thalib: "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan
kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"
Imam Ali
menerangkan: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku,
bahwa uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap
dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"
Imam Ali
kemudian melanjutkan ceritanya: Penjual Roti lalu berkata kepada Tamlikha:
"Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau baru menemukan harta
karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan
kepada raja!"
"Aku tidak
menemukan harta karun," sangkal Tamlikha. "Uang ini ku dapat tiga
hari yang lalu dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku
kemudian meninggalkan kota karena orang-orang semuanya menyembah
Diqyanius!"
Penjual roti
itu marah. Lalu berkata: "Apakah setelah engkau menemukan harta karun
masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau
telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan,
padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan
begitu engkau hendak memperolok-olok aku?"
Tamlikha lalu
ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang baru ini seorang
yang dapat berfikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang
membawa Tamlikha: "Bagaimana cerita tentang orang ini?"
"Dia menemukan harta karun," jawab orang-orang yang membawanya.
Kepada
Tamlikha, raja berkata: "Engkau tak perlu takut! Nabi Isa a.s. memerintahkan
supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah
yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat."
Tamlikha
menjawab: "Baginda, aku sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku
adalah penduduk kota ini!"
Raja bertanya sambil keheran-heranan: "Engkau penduduk kota ini?"
"Ya.
Benar," sahut Tamlikha.
"Adakah
orang yang kau kenal?" tanya raja lagi.
"Ya,
ada," jawab Tamlikha.
"Coba
sebutkan siapa namanya," perintah raja.
Tamlikha
menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang
dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata:
"Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang.
Tetapi, apakah engkau mempunyai rumah di kota ini?"
"Ya,
tuanku," jawab Tamlikha. "Utuslah seorang menyertai aku!"
Raja kemudian
memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka
diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di
sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan: "Inilah
rumahku!"
Pintu rumah itu
lalu diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang
alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi
mata karena sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, lalu bertanya kepada
orang-orang yang datang: "Kalian ada perlu apa?"
Utusan raja
yang menyertai Tamlikha menyahut: "Orang muda ini mengaku rumah ini adalah
rumahnya!"
Orang tua itu
marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya:
"Siapa namamu?"
"Aku Tamlikha anak Filistin!"
Orang tua itu
lalu berkata: "Coba ulangi lagi!"
Tamlikha
menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang tua itu bertekuk lutut di depan kaki
Tamlikha sambil berucap: "Ini adalah datukku! Demi Allah, ia salah seorang
di antara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka."
Kemudian
diteruskannya dengan suara haru: "Ia lari berlindung kepada Yang Maha
Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa as., dahulu telah
memberitahukan kisah mereka kepada kita dan mengatakan bahwa mereka itu akan
hidup kembali!"
Peristiwa yang
terjadi di rumah orang tua itu kemudian di laporkan kepada raja. Dengan
menunggang kuda, raja segera datang menuju ke tempat Tamlikha yang sedang
berada di rumah orang tua tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun
dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak
beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya:
"Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?"
Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam
gua.Park.. Nak baca..
Di kala Umar
Ibnul Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah datang kepadanya
beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah: "Hai Khalifah
Umar, anda adalah pemegang kekuasaan sesudah Muhammad dan sahabatnya, Abu
Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa masalah penting kepada anda. Jika anda
dapat memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam
merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya,
jika anda tidak dapat memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan
Muhammad bukan seorang Nabi."
"Silahkan
bertanya tentang apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.
"Jelaskan kepada kami tentang induk kunci (gembok) mengancing langit,
apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya.
"Terangkan kepada kami tentang adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama
penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami tentang suatu makhluk yang dapat
memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan manusia dan bukan jin!
Terangkan kepada kami tentang lima jenis makhluk yang dapat berjalan di
permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu
atau atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung
puyuh (gemak) di saat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam
jantan di kala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda di saat ia
sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak di waktu ia sedang bersuara?
Apakah yang dikatakan oleh keledai di saat ia sedang meringkik? Apakah yang
dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"
Khalifah Umar
menundukkan kepala untuk berfikir sejenak, kemudian berkata: "Bagi Umar,
jika ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak
diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''
Mendengar jawaban Khalifah Umar seperti itu, pendeta-pendeta Yahudi yang
bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata: "Sekarang
kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu
adalah bathil!"
Salman
Al-Farisi yang saat itu hadir, segera bangkit dan berkata kepada
pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"
Ia cepat-cepat
pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya
Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"
Imam Ali r.a.
bingung, lalu bertanya: "Mengapa?"
Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar Ibnul
Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan
lenggang memakai burdah (selembar kain penutup punggung atau leher) peninggalan
Rasul Allah s.a.w. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun
dari tempat duduk lalu buru-buru memeluknya, sambil berkata: "Ya Abal
Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"
Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu
jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata: "Silakan kalian bertanya tentang
apa saja yang kalian inginkan. Rasul Allah s.a.w. sudah mengajarku seribu macam
ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu mempunyai seribu macam cabang
ilmu!"
Pendeta-pendeta
Yahudi itu lalu mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali
bin Abi Thalib berkata: "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian,
yaitu jika ternyata aku nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian
sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama
kami dan beriman!"
"Ya
baik!" jawab mereka.
"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.
Mereka mulai bertanya: "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing
pintu-pintu langit?"
"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik
kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria maupun wanita, jika ia
bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan dapat naik sampai ke hadhirat
Allah!"
Para pendeta Yahudi bertanya lagi: "Anak kunci apakah yang dapat membuka
pintu-pintu langit?"
Ali bin Abi Thalib menjawab: "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat)
bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Para pendeta
Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata: "Orang itu
benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut: "Terangkanlah kepada kami
tentang adanya sebuah kuburan yang dapat berjalan bersama penghuninya!"
"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera
Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus as. dibawa keliling
ketujuh samudera!"
Pendeta-pendeta
itu meneruskan pertanyaannya lagi: "Jelaskan kepada kami tentang makhluk
yang dapat memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan
manusia dan bukan jin!"
Ali bin Abi
Thalib menjawab: "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman putera Nabi Dawud
alaihimas salam. Semut itu berkata kepada kaumnya: "Hai para semut,
masuklah ke dalam tempat kediaman kalian, agar tidak diinjak-injak oleh
Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sedar!"
Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya: "Beritahukan kepada kami
tentang lima jenis makhluk yang berjalan di atas permukaan bumi, tetapi tidak
satu pun di antara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya
atau induknya!"
Ali bin Abi
Thalib menjawab: "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa.
Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi
Musa (yang menjelma menjadi seekor ular)."
Dua di antara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban
serta penjelasan yang diberikan oleh Imam Ali r.a. lalu mengatakan: "Kami
bersaksi bahwa tiada tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah!"
Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin
Abi Thalib: "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu
yang sama seperti iman dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang
masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."
"Tanyakanlah
apa saja yang kau inginkan," sahut Imam Ali.
"Coba
terangkan kepadaku tentang sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati
selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat
tentang mereka itu?" Tanya pendeta tadi.
Ali bin Ali
Thalib menjawab: "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua.
Hikayat tentang mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah s.w.t. kepada Rasul-Nya.
Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."
Pendeta Yahudi
itu menyahut: "Aku sudah banyak mendengar tentang Qur'an kalian itu! Jika
engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah
mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung
serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal sampai akhir!"
Ali bin Abi
Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut ke depan perut, lalu
ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata:
"Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasul Allah s.a.w. kekasihku telah
menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, di sebuah kota
bernama Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada
zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu
berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, sekarang terletak di dalam wilayah Turki).
Penduduk negeri itu dahulunya mempunyai seorang raja yang baik. Setelah raja
itu meninggal dunia, berita kematiannya didengar oleh seorang raja Persia
bernama Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia
datang menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan akhirnya berhasil
menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, lalu
dibangunlah sebuah Istana."
Baru sampai di
situ, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya: "Jika
engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana
serambi dan ruangan-ruangannya!"
Ali bin Abi Thalib menerangkan:
"Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat
dari batu marmar. Panjangnya satu farsakh (= kl
8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah,
semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga
semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai
yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak
yang harum baunya. Di sebelah timur serambi dibuat lubang-lubang cahaya
sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari
sejak mulai terbit sampai terbenam selalu dapat menerangi serambi.
Raja itu pun membuat sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan
lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat
dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Di sebelah kirinya juga
disediakan 80 buah kursi terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan
penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan
mengenakan mahkota di atas kepala."
Sampai di situ
pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata: "Jika engkau
benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"
"Hai
saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "mahkota raja itu terbuat
dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan
mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan
malam.
Raja itu juga mempunyai 50 orang pelayan, terdiri dari anak-anak para
hulubalang. Semuanya memakai selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana
mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan
gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari
emas. Mereka harus berdiri di belakang raja.
Selain mereka,
raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari anak-anak para cendekiawan, untuk
dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu
keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu
itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan
yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."
Pendeta yang
bertanya itu berdiri lagi. Lalu berkata: "Hai Ali, jika yang kau katakan
itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja
itu!"
Menanggapi hal
itu, Imam Ali r.a. menjawab: "Kekasihku Muhammad Rasul Allah s.a.w.
menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri di sebelah kanan raja,
masing-masing bernama Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang
pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing bernama Martelius,
Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala
urusan.
Tiap hari
setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan
para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya
membawa piala emas penuh berisi wewangian murni.
Seorang lagi
membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi
membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan
suara isyarat, lalu burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari
bunga. Burung itu berkecimpung di dalamnya dan setelah itu ia
mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, sampai sari-bunga itu habis dipercikkan
ke semua tempat sekitarnya.
Kemudian si
pembawa burung tadi mengeluarkan suara isyarat lagi. Burung itu terbang pula.
Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung di
dalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, sampai wewangian
murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke tempat sekitarnya. Pembawa
burung itu memberi isyarat suara lagi. Burung itu lalu terbang dan hinggap di
atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas
kepala raja.
Demikianlah
raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama
itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing
kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang
raja merasa diri sedemikian kuat dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan
dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi
mengakui adanya Allah s.w.t.
Raja itu
kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat
dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan berbagai macam hadiah lainnya. Tetapi
barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia
akan segera dibunuh. Oleh sebab itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya.
Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, sampai ia
disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah s.w.t.
Pada suatu hari
perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan
mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu,
bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu ke dalam wilayah kerajaannya, dengan
maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian sedih dan
bingungnya raja itu, sampai tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh
dari kepala.
Kemudian raja
itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu
yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang bernama Tamlikha--
memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh fikiran. Ia berfikir, lalu
berkata di dalam hati: "Kalau Diqyanius itu benar-benar tuhan sebagaimana
menurut pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air
kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan."
Enam orang
pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di tempat salah seorang
dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha menerima
kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan
dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya
bertanya: "Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau
minum?"
"Teman-teman,"
sahut Tamlikha, "hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku
tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur."
Teman-temannya
mengejar: "Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?"
"Sudah
lama aku memikirkan soal langit," ujar Tamlikha menjelaskan."
Aku lalu
bertanya pada diriku sendiri: 'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap
yang senantiasa aman dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang
yang menopangnya dari bawah?
Siapakah yang
menjalankan matahari dan bulan di langit itu?
Siapakah yang
menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan
juga bumi ini: 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala?
Siapakah yang
menahannya dengan gunung-gunung raksasa agar tidak goyah, tidak goncang dan
tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri: 'Siapakah yang
mengeluarkan aku sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara
hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu pasti ada yang membuat, dan
sudah tentu bukan Diqyanius'…"
Teman-teman
Tamlikha lalu bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil
berkata: "Hai Tamlikha dalam hati kami sekarang terasa sesuatu seperti
yang ada di dalam hatimu. Oleh karena itu, baiklah engkau tunjukkan jalan
keluar bagi kita semua!"
"Saudara-saudara,"
jawab Tamlikha, "baik aku maupun kalian tidak menemukan akal selain harus
lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja pencipta langit dan
bumi!"
"Kami
setuju dengan pendapatmu," sahut teman-temannya.
Tamlikha lalu
berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan akhirnya berhasil
mendapat uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong
baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bersama-sama dengan lima orang temannya.
Setelah
berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya:
"Saudara-saudara, kita sekarang sudah terlepas dari raja dunia dan dari
kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan
kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta memberikan jalan
keluar."
Mereka turun
dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, sampai kaki
mereka bengkak berdarah karena tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.
Tiba-tiba
datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka
bertanya: "Hai penggembala, apakah engkau mempunyai air minum atau
susu?"
"Aku
mempunyai semua yang kalian inginkan," sahut penggembala itu. "Tetapi
kulihat wajah kalian semuanya seperti kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu
pasti melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana cerita perjalanan kalian
itu!"
"Ah…,
susahnya orang ini," jawab mereka. "Kami sudah memeluk suatu agama,
kami tidak boleh berdusta. Apakah kami akan selamat jika kami mengatakan yang
sebenarnya?"
"Ya," jawab penggembala itu.
Tamlikha dan
teman-temannya lalu menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar
cerita mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan
sambil menciumi kaki mereka, ia berkata: "Dalam hatiku sekarang terasa
sesuatu seperti yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di
sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti aku
akan segera kembali lagi kepada kalian."
Tamlikha
bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk
mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia datang lagi
berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."
Waktu cerita
Imam Ali sampai di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi
sambil berkata: "Hai Ali, jika engkau benar-benar tahu, coba sebutkan
apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"
"Hai
saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib memberitahukan, "kekasihku
Muhammad Rasul Allah s.a.w. menceritakan kepadaku, bahwa anjing itu berwarna
kehitam-hitaman dan bernama Qithmir.
Ketika enam
orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada
temannya: kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar rahasia
kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan
batu.
Anjing itu
melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, lalu duduk di atas dua kaki
belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan jelas sekali:
"Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal aku ini
bersaksi tiada tuhan selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah aku
menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian aku mendekatkan diriku
kepada Allah s.w.t." Anjing itu akhirnya dibiarkan saja. Mereka lalu
pergi.
Penggembala
tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah
gua."
Pendeta Yahudi
yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari tempat duduknya sambil berkata:
"Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?!"
Imam Ali
menjelaskan: "Gunung itu bernama Naglus dan nama gua itu ialah Washid,
atau di sebut juga dengan nama Kheram!"
Ali bin Abi
Thalib meneruskan ceritanya: secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan
berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum
air yang tersedia di tempat itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk
berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang sejak tadi mengikuti mereka,
berjaga-jaga ndeprok sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi
pintu gua.
Kemudian Allah
s.w.t. memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing
orang dari mereka Allah s.w.t. mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik
tubuh mereka dari kanan ke kiri. Allah lalu memerintahkan matahari supaya pada
saat terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada
saat hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.
Suatu ketika
waktu raja Diqyanius baru saja selesai berpesta ia bertanya tentang enam orang
pembantunya. Ia mendapat jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja
Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat
menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas
bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan
diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan
bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.
Kepada para
pengikutnya ia berkata: "Kalau aku hendak menghukum mereka, tidak akan
kujatuhkan hukuman yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa
diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang batu supaya mereka
segera datang ke mari!"
Setelah
tukang-tukang batu itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua
dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja
berkata kepada para pengikutnya: "Katakanlah kepada mereka yang ada di
dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong
kepada Tuhan mereka yang ada di langit, agar mereka dikeluarkan dari tempat
itu."
Dalam gua
tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.
Setelah masa
yang amat panjang itu lampau, Allah s.w.t. mengembalikan lagi nyawa mereka.
Pada saat matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seakan-akan
baru bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang
lainnya: "Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke
mata air!"
Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah
mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya.
Allah s.w.t. membuat mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya:
"Siapakah di antara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota
membawa uang untuk bisa mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota
nanti supaya hati-hati benar, jangan sampai membeli makanan yang dimasak dengan
lemak-babi."
Tamlikha
kemudian berkata: "Hai saudara-saudara, aku sajalah yang berangkat untuk
mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan
ambillah bajuku ini!"
Setelah
Tamlikha memakai baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan
ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui
jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya dekat pintu gerbang kota, ia
melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan: "Tiada Tuhan selain
Allah dan Isa adalah Roh Allah."
Tamlikha
berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, lalu berkata
seorang diri: "Kusangka aku ini masih tidur!" Setelah agak lama
memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuk
"Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang bangsawan istana.
Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang
bangsawan itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju
ke ...Lihat Selengkapnya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar